Sunday, July 05, 2009
lama tak besua...
banyak alasan... karena ga ada bahan untuk di post, sempet ga punya laptop utk online, kesulitan jaringan internet dan mungkin terlalu asyik main facebook..
hmm.. yg pasti insyaAllah akan saya aktifkan lagi.. :)
Sunday, October 19, 2008
My Own Vertical Limit
Rombongan berkumpul di shopping center tembagapura dan segera berangkat naik bus setelah selesai diabsen. Jam 3.00 dini hari bus berangkat menuju Mile 74. Dari mile 74, kita naik tram menuju Grasberg. Grasberg adalah tambang terbuka (open pit) yang mempunyai ketinggian lebih dari 3000m diatas permukaan air laut. Dari grasberg inilah kita akan berjalan menuju Cartenz. Grasberg adalah area tambang yang sangat luas, karena itulah setelah turun dari tram kita naik bus lagi menuju area grasberg yang paling dekat dengan jalan menuju cartenz, the Zebra Wall.
the great zebra wall
Mendaki melintas bukit, batu, padang rumput, banyak tanjakan, datar, kemudian tanjakan lagi. Berjalan sambil mengabadikan pemandangan dengan Kodak V705 saya. Gunung, bukit, batu, rumput, sungai kecil mengalir melantunkan gemericik melodi indah, dingin, teman, tas punggung, gloves biru tebal, takjub, indah, danau, langit, tinggi, oksigen tipis, dan saya.
Beberapa tanjakan cukup berat, menumbangkan mental dan fisik, memucatkan wajah-wajah lelah. But hey! saya sehat, saya tidak merasa capek, masih kuat dan semangat untuk mendaki lagi, walaupun tak tahu kapan jalan setapak ini akan berakhir. Saya merasa fit, tak tahu karena memang mindsetting saya berhasil atau karena minuman gingseng yang saya minum sebelum berangkat.
Dan perjalanan terus berlanjut. Sebuah danau dengan air berwarna hijau indah terlihat. Ada tiga danau yang akan ditemui di perjalanan menuju puncak Cartenz, dan saya sedang melewati danau yang pertama. Tak lama kemudian danau kedua dengan warna air lebih tua daripada danau pertama. Sempat mengambil beberapa foto narsis di tepi danau, lalu beranjak lagi. Setelah melewati beberapa tanjakan yang cukup merenggut nafas, saya sampai di danau ketiga, danau yang terbesar. Di tepi danau berdiri dua buah tenda, sebagai base camp. Saya beristirahat menikmati angin bertiup sepoi, menyapu muka-muka pucat yang beristirahat sambil menikmati secangkir panas susu coklat.
i'm steps ahead
Istirahat, makan dan minum sudah cukup, saatnya melanjutkan perjalanan. Tidak terlihat lagi jalan setapak yang lurus memanjang. Hanya tebing-tebing landai yang harus didaki, menciutkan nyali. Satu persatu bukit saya daki sambil sejenak berhenti mengambil nafas menenangkan diri. "Fiuh, kok ga nyampe-nyampe sih?"gumam saya. "Paling bentar lagi rom, gw udah ngerasain aura es-ya"seloroh seorang teman. Dan akhirnya tebing-tebing itu terlampaui, menyisakan beberapa langkah lagi, menuju pucak Cartenz yang dinanti. Salju itu sudah terlihat, tepat di depan mata saya. Keindahan yang tidak pernah saya bayangkan sebelumnya bahwa saya akan melihatnya secara langsung dengan mata kepala saya sendiri. Sampailah sudah saya di puncak Cartenz, 4880 m asl (above sea level). Alhamdulillah!!! Saya kibarkan bendera merah putih di tanan kanan saya. Benar-benar kepuasan dan kebanggaan yang belom pernah saya rasakan sebelumnya. Kepuasan dan kebanggaan berada di puncak tertinggi saya.
merah putih di gunung salju
Tuesday, March 18, 2008
angin barat
Kembali kutatap tebing-tebing itu. Kulukiskan wajahmu disana, seperti yang biasa aku lukiskan di langit-langit kamarku saat menjelang tidur. Tidur yang berbunga. Berbunga kamu.
Monday, February 25, 2008
Tembagapura, negeri di atas awan
Lagi-lagi penjajahan!
Dan yang lebih parah, saya adalah bagian dari cecunguk-cecunguk penjajahan. Hanya demi uang receh mereka. Yang mungkin bernilai besar bagi saya. Tapi nilai adalah nilai, yang mempunyai besaran jika ada nilai lain sebagai perbandingan. Dan jika dibandingkan dengan emas yang mereka ambil. Orang bodoh pun tahu, uang ini hampir tak bernilai.
Sejak saat itu saya tahu dan sadar, saya tidak akan lama disini. Saya sakit.”
Tuesday, November 13, 2007
Teh
Saya sendiri adalah korban dari teman saya bernama Doni Alfan, seorang teman baik, sama-sama penggemar kopi, sama-sama penikmat teh, sama-sama gila, hanya selera wanita kita mungkin berbeda. Dari dialah saya mengenal mbah Loso dan teh sakral buatannya, sekaligus resep ramuan tehnya. Ternyata Mbah Loso tidak segan-segan memberi resep ramuannya. Mungkin juga karena dia yakin walapun ramuan tehnya sama, kalau air dan orang yang mengaduk beda, akan beda rasanya. Dan memang betul, walaupun saya sudah meramu teh sesuai resep beliau, rasanya tidak akan sama walaupun cukup dekat. Kata Mami "Sing ngudak bedo, rasane yo bedo". Saya setuju.
Jika Anda ingin merasakan teh buatan mbah Loso, silahkan datang ke Solo. Atau Anda bisa menghubungi saya untuk mendapatkan ramuan teh melati wangi resep beliau. Saya bahkan sudah membungkus dan memberi merek ramuan teh tersebut (ilegal tentunya). Karena stok terbatas, maka hanya orang yang serius tertarik atau penggemar teh yang akan saya beri satu bungkus for free.
Tuesday, September 18, 2007
Rembulan hari ke7
Lalu kumelihat ke bawah, ke tanah, ke dunia, ke rumah, ke jalan, ke gedung, ke hutan, ke pasar, ke kolong jembatan, ke gubug reot, ke kampung kumuh, ke mall, ke hotel, ke showroom, ke hypermart, ke starbucks, ke sumur minyak, ke tambang emas, ke lumpur sidoarjo, ke saritem, ke gang ndoli, ke sarkem, kemanapun apapun sejauh mata minus ini memandang. "Inikah dunia yang engkau sinari wahai rembulan Ramadhan?". Dunia dimana pemerintah memberi kado awal Ramadhan sebuah peraturan larangan memberi sedekah di jalan. Dunia dimana seorang buruh pabrik sepatu nike hanya mendapatkan lima ribu rupiah untuk setiap sepatu seharga satu juta empat ratus ribu rupiah yang mereka buat dengan tangan dan keringat mereka. Atau lima ratus rupiah untuk setiap celana boxer GAP seharga lebih dari seratus ribu rupiah. Dunia dimana ada sebuah negeri yang kaya raya subur makmur gemah ripah loh jinawi diubah menjadi negeri pengemis oleh tangan-tangan penjajah keparat melalui bangsat-bangsat bertopeng anak bangsa. Arrrgggghhh....
Aku terbangun dari mimpiku. Saatnya makan sahur. Nasi telur terasa nikmat sekali. Kulihat ke luar ke langit dini hari. Indahnya rembulan masih di atas sana, dan aku masih di dunia ini. Akan terus kujaga sebersit harapan ini, untuk menjadikan dunia ini lebih indah untuk engkau sinari wahai rembulan. Semoga... Sampai nanti...