Sunday, October 19, 2008

My Own Vertical Limit

Seorang teman membangunkan saya tepat pada pukul 1:20 WIT. Pascal, nama teman itu (percayalah, orang tidak selalu sebagus namanya). Hari itu hari Minggu, 4 May 2008, ketika saya, Pascal dan Alim bangun pada dini hari untuk bersiap-siap melakukan perjalanan yang cukup menakjubkan. Yeah! We are going to hike Cartenz beibeh. Cartenz adalah salah satu puncak salju abadi (Glacier) di Indonesia. Tepatnya di Kab. Mimika, Papua. Kebetulan satu area dengan tempat saya bekerja menjadi kuli tambang. Bisa dibayangkan, saya merasa exited sejak 2 minggu sebelum perjalanan ini. Dan dalam 2 minggu itulah kalimat "Ya Allah, berikanlah kesehatan dan kekuatan untuk perjalanan ke Cartenz" selalu saya ucapkan dalam untaian doa saya. Tetapi badan saya merasa kurang fit malam itu, tak tahu karena terlalu exited atau memang karena sedang tidak dalam kondisi bagus. Saya hanya bisa mindsetting “saya sehat, saya sehat, saya sehat, saya kuat”.
Rombongan berkumpul di shopping center tembagapura dan segera berangkat naik bus setelah selesai diabsen. Jam 3.00 dini hari bus berangkat menuju Mile 74. Dari mile 74, kita naik tram menuju Grasberg. Grasberg adalah tambang terbuka (open pit) yang mempunyai ketinggian lebih dari 3000m diatas permukaan air laut. Dari grasberg inilah kita akan berjalan menuju Cartenz. Grasberg adalah area tambang yang sangat luas, karena itulah setelah turun dari tram kita naik bus lagi menuju area grasberg yang paling dekat dengan jalan menuju cartenz, the Zebra Wall.

the great zebra wall

Dari Zebra Wall, saya dan rombongan berjalan beriringan mendaki jalan setapak menuju Cartenz. Jam menunjukkan pukul 5.00 WIT. Langit mulai beranjak terang, keindahan-keindahan yang disembunyikan sang malam mulai terkuak, menakjubkan saya. Kata syukur semakin sering saya ucapkan, betapa dasyat keindahan ini, tidak bisa membayangkan betapa maha dasyatnya Sang Pencipta.
Mendaki melintas bukit, batu, padang rumput, banyak tanjakan, datar, kemudian tanjakan lagi. Berjalan sambil mengabadikan pemandangan dengan Kodak V705 saya. Gunung, bukit, batu, rumput, sungai kecil mengalir melantunkan gemericik melodi indah, dingin, teman, tas punggung, gloves biru tebal, takjub, indah, danau, langit, tinggi, oksigen tipis, dan saya.
Beberapa tanjakan cukup berat, menumbangkan mental dan fisik, memucatkan wajah-wajah lelah. But hey! saya sehat, saya tidak merasa capek, masih kuat dan semangat untuk mendaki lagi, walaupun tak tahu kapan jalan setapak ini akan berakhir. Saya merasa fit, tak tahu karena memang mindsetting saya berhasil atau karena minuman gingseng yang saya minum sebelum berangkat.
Dan perjalanan terus berlanjut. Sebuah danau dengan air berwarna hijau indah terlihat. Ada tiga danau yang akan ditemui di perjalanan menuju puncak Cartenz, dan saya sedang melewati danau yang pertama. Tak lama kemudian danau kedua dengan warna air lebih tua daripada danau pertama. Sempat mengambil beberapa foto narsis di tepi danau, lalu beranjak lagi. Setelah melewati beberapa tanjakan yang cukup merenggut nafas, saya sampai di danau ketiga, danau yang terbesar. Di tepi danau berdiri dua buah tenda, sebagai base camp. Saya beristirahat menikmati angin bertiup sepoi, menyapu muka-muka pucat yang beristirahat sambil menikmati secangkir panas susu coklat.

danau pertama
tanjakan landai

i'm steps ahead

Istirahat, makan dan minum sudah cukup, saatnya melanjutkan perjalanan. Tidak terlihat lagi jalan setapak yang lurus memanjang. Hanya tebing-tebing landai yang harus didaki, menciutkan nyali. Satu persatu bukit saya daki sambil sejenak berhenti mengambil nafas menenangkan diri. "Fiuh, kok ga nyampe-nyampe sih?"gumam saya. "Paling bentar lagi rom, gw udah ngerasain aura es-ya"seloroh seorang teman. Dan akhirnya tebing-tebing itu terlampaui, menyisakan beberapa langkah lagi, menuju pucak Cartenz yang dinanti. Salju itu sudah terlihat, tepat di depan mata saya. Keindahan yang tidak pernah saya bayangkan sebelumnya bahwa saya akan melihatnya secara langsung dengan mata kepala saya sendiri. Sampailah sudah saya di puncak Cartenz, 4880 m asl (above sea level). Alhamdulillah!!! Saya kibarkan bendera merah putih di tanan kanan saya. Benar-benar kepuasan dan kebanggaan yang belom pernah saya rasakan sebelumnya. Kepuasan dan kebanggaan berada di puncak tertinggi saya.

merah putih di gunung salju

Tuesday, March 18, 2008

angin barat

Angin barat bertiup pelan, membelai rona, membawa aroma wangi dan bisik cinta. dewi shiNtaku, kamu kah itu? Aku tutup mataku dan menarik nafas dalam-dalam. Aku rasakan aroma dan bisiknya, iya itu kamu dewi shiNtaku. Aku yakin itu kamu. Kamu titipkan pesan dan aroma kamu pada angin barat. Kamu cerdas. Kamu tahu kamu tidak bisa menitipkan pesan dan aroma kamu pada rembulan, seperti caraku menitipkan kata cintaku. Karena dari sini lah rembulan terbit lalu melenggang manis menuju tempat kamu lalu mengelilingi buana raya lalu kembali ke tempat ini lagi lalu begitu seterusnya. Rembulan memang akan kembali kesini setelah mengelilingi buana, tapi betapa busuk dan bisingnya buana ini sehingga akan membuat pesan yang dititipkan akan menguap dan terbias. Kamu tidak mau kan aku menerima pesan yang terbias? Dari dulu aku tahu bahwa kamu cerdas, sejak aku menatap mata kamu di depan pintu itu, di depan teman-teman kamu. Aku tahu kamu cerdas sejak aku tahu kamu merangkai kata dengan indah, lisan maupun tulisan. Aku tahu kamu cerdas sejak kamu salalu berargumen mempertahankan kekeraskepalaan kamu. Tuhan memang maha adil, Dia menciptakan kecerdasan seiring dengan kekeraskepalaan. Karena kekeraskepalaan tanpa kecerdasan hanya akan menjadi kebebalan. Dan masyaAllah, bebal adalah dosa. Betapa aku bersyukur karena Tuhan juga menciptakan kesederhanaan dan ketulusan dibalik kekeraskepalaan itu. Kamu ingat waktu itu? aku selalu kerepotan menghadapi kekeraskepalaan kamu. Aku selalu mengikuti apapun yg kamu katakan dan apapun yang kamu mau, aku hanya tersenyum dan bergumam "betapa aku sayang wanita ini". Dan sekarang kekeraskepalaan kamu padaku adalah kasih sayang bagiku. Dan kata-kata "kamu bodoh!" yang dulu pernah membuat aku marah telah berubah menjadi indah di telingaku.

Kembali kutatap tebing-tebing itu. Kulukiskan wajahmu disana, seperti yang biasa aku lukiskan di langit-langit kamarku saat menjelang tidur. Tidur yang berbunga. Berbunga kamu.

Monday, February 25, 2008

Tembagapura, negeri di atas awan

“Tembagapura, tempat dimana matahari terbit 2 jam lebih cepat dari ibukota. Tapi hari itu, matahari belum terbit di tembagapura. Saya berdiri di tepi jalan, melihat sekeliling saya. Pemandangan indah tebing-tebing diselimuti kabut, siluet gunung-gunung yang menjulang setinggi lebih dari 3500 meter dari permukaan air laut. Saya masih berdiri disini, terbaur dengan para kuli tambang yang berebut bis, hanya untuk menjemput lelah. Kelelahan bekerja membantu Londo Asu menguras kekayaan bangsa. Sh*t! Apa yang mereka dapat dari kelelahan yang mereka jemput dengan cara berebut tersebut? Hanya secuil kecil mungil dari seluruh emas yang diambil. Gunung milik kitorang, keringat milik kitorang, mereka ambil emas kitorang dengan sembarang.

Lagi-lagi penjajahan!

Dan yang lebih parah, saya adalah bagian dari cecunguk-cecunguk penjajahan. Hanya demi uang receh mereka. Yang mungkin bernilai besar bagi saya. Tapi nilai adalah nilai, yang mempunyai besaran jika ada nilai lain sebagai perbandingan. Dan jika dibandingkan dengan emas yang mereka ambil. Orang bodoh pun tahu, uang ini hampir tak bernilai.

Sejak saat itu saya tahu dan sadar, saya tidak akan lama disini. Saya sakit.”