“Tembagapura, tempat dimana matahari terbit 2 jam lebih cepat dari ibukota. Tapi hari itu, matahari belum terbit di tembagapura. Saya berdiri di tepi jalan, melihat sekeliling saya. Pemandangan indah tebing-tebing diselimuti kabut, siluet gunung-gunung yang menjulang setinggi lebih dari 3500 meter dari permukaan air laut. Saya masih berdiri disini, terbaur dengan para kuli tambang yang berebut bis, hanya untuk menjemput lelah. Kelelahan bekerja membantu Londo Asu menguras kekayaan bangsa. Sh*t! Apa yang mereka dapat dari kelelahan yang mereka jemput dengan cara berebut tersebut? Hanya secuil kecil mungil dari seluruh emas yang diambil. Gunung milik kitorang, keringat milik kitorang, mereka ambil emas kitorang dengan sembarang.
Lagi-lagi penjajahan!
Dan yang lebih parah, saya adalah bagian dari cecunguk-cecunguk penjajahan. Hanya demi uang receh mereka. Yang mungkin bernilai besar bagi saya. Tapi nilai adalah nilai, yang mempunyai besaran jika ada nilai lain sebagai perbandingan. Dan jika dibandingkan dengan emas yang mereka ambil. Orang bodoh pun tahu, uang ini hampir tak bernilai.
Sejak saat itu saya tahu dan sadar, saya tidak akan lama disini. Saya sakit.”
Lagi-lagi penjajahan!
Dan yang lebih parah, saya adalah bagian dari cecunguk-cecunguk penjajahan. Hanya demi uang receh mereka. Yang mungkin bernilai besar bagi saya. Tapi nilai adalah nilai, yang mempunyai besaran jika ada nilai lain sebagai perbandingan. Dan jika dibandingkan dengan emas yang mereka ambil. Orang bodoh pun tahu, uang ini hampir tak bernilai.
Sejak saat itu saya tahu dan sadar, saya tidak akan lama disini. Saya sakit.”